Cerita Guru SMP Swasta, Menangis karena Cuma Dapat 2 Siswa Baru

SMP Gatra Surabaya hanya mendapatkan 2 siswa baru di tahun ajaran 2019/2020. Namun, hingga Jumat (5/7/2019) 


Eka Vina guru IPS di SMP Gatra Surabaya tetap setia duduk di meja piket sekolahnya, dengan harapan masih ada calon siswa baru yang mendaftar di lembaga pendidikan yang bergabung dengan Yayasan Trisula. Pihak sekolah sudah melakukan segala cara agar jumlah siswa bisa bertambah, hingga genap satu kelas. "Masak hanya dua jari siswa kami," ucap Vina saat ditemui Surya, Jumat. 

Vina mendapat tugas piket dari sekolah menjaga loket PPDB. Namun hingga Jumat siang, tidak ada calon siswa baru yang mendaftar menyusul 2 siswa sebelumnya. Vina mengatakan jika sekolahnya pernah berjaya di era 1980-an, tapi untuk tahun ajaran ini hanya ada 2 siswa yang mednaftar. Kondisi tersebut membuat kepala sekolah dan 11 guru yang berada di Jl Johor Perak, Kecamatan Pabean Cantikan, Surabaya, terpukul dan menghantam psikologis mereka. Eva Vina mengaku sedih saat disinggung sekolah yang sudah belasan tahun dijadikan mencari penghidupan, hanya melayani 2 siswa di kelas VII. 

Ia mengatakan hanya mendapat honor Rp 18.000 per bulan. Sekolah di pinggiran Surabaya itu memberikan honor mengajar Rp 20.000 per jam. "Kalau ditanya gaji saya sedih. Saya nangis. Lebih rendah dari tukang becak dan kalah dengan kuli. Tapi saya terpanggil untuk tetap mengajar dan menjadikan anak-anak tumbuh secara terdidik," ucap Vina lirih. Perempuan ini mengaku sulit membayangkan saat dalam satu kelas hanya mengajar dua murid. Namun apa pun yang terjadi, Vina dan teman-teman guru tetap akan mengajar jika pihak sekolah masih menghendaki. Mereka berharap tetap mendapat tugas mengajar. Vina mengaku ingin mendapat tunjangan profesi pendidik (TPP), karena guru swasta juga berhak atas tunjangan ini. 

Namun karena hanya 2 siswa rasanya sulit mengejar mimpinya mendapat TPP, karena syarat minimal harus 24 jam mengajar. Tidak hanya SMP Gatra yang hanya mendapat 2 siswa baru. SMP PGRI 5 Surabaya yang berlokasi di Dupak Rukun V juga bernasib sama. Safiq Umam, salah satu guru di SMP PGRI 5 mengatakan jumlah siswa akan berpengaruh pada penghasilan para guru. Apalagi mereka punya keluarga. Hampir seluruh operasional dan pengeluaran sekolah sangat bergantung pada SPP siswa. Kalau sekolah hanya mendapat sediki siswa tentu akan berdampak serius terhadap kelangsungan proses belajar mengajar di sekolah. 

Keberlangsungan pendidikan dan layanan pendidikan di SMP PGRI 5 akan dipertaruhkan dengan SPP per bulan Rp 75.000. "Tidak tahu harus bagaiman lagi. Pemkot dan Dinas Pendidikan sebaiknya memperhatikan nasib para guru begini," ucap Safiq. Walapun demikian, Safiq tetap memutuskan untuk mengabdikan ilmunya di dunia pendidikan. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, dia harus mengajar di beberapa sekolah lain untuk mendapatkan honor layak. Sama dengan SMP swasta yang lain, honor para guru di pinggiran Surabaya berlaku tarif Rp 20.000 per jam. Dalam seminggu  ia memiliki minimal 4 jam mengajar dengan gaji diterima sebulan sekali. 

Kepala SMP Gatra Abdul Aziz Panigoro menuturkan bahwa tahun ini menjadi saat paling sulit yang harus dia hadapi. "Tidak hanya SMP kecil seperti kami. Banyak SMP swasta besar juga kelimpungan tak dapat murid baru," Kata Aziz. Kondisi itu tak bisa dilepaskan dari pengaruh penambahan pagu SMP negeri saat proses PPDB tengah berlangsung. Ia mengatakan desakan demo PPDB zonasi, Dinas Pendidikan Kota Surabaya memutuskan penambahan pagu SMP negeri hingga 7.000 siswa. Informasi yang diterima, jumlah total lulusan SD seluruh Surabaya sebanyak 46.000 siswa. 

Pagu SMP negeri mestinya 18.325, namun setelah ada gelombang demo PPDB zonasi, Dinas Pendidikan yang mengaku sudah mendapat izin pusat menambah pagu menjadi 25.233. Kepala SMP Gatra Abdul Aziz menyampaikan bahwa kondisi sulit dan tertekannya SMP swasta itu tidak berlepas dari kebijakan dinas pendidikan Kota Surabaya yang menambah ribuan pagu SMP negeri. Ini berdampak serius pada rekrutmen siswa baru sekolah swasta. "Kebijakan ini tidak berpihak kepada SMP swasta. Sepanjang sejarah baru kali Ini sekolah kami hanya mendapat 2 siswa. Apakah akan kami bubarkan, leluhur kami menghendaki layanan pendidikan ini harus tetap ada," kata Aziz Di saat yang sama, Kepala SMP PGRI 5 Surabaya Hentri Poerwidajati mengaku pasrah dengan kondisi sekolahnya karena hanya menerima  2 siswa baru. 

"Mbok ya SMP swasta seperti kami diperhatikan. Setidaknya kebijakan itu berpihak kepada majunya sekolah swasta. Tidak dibeda-bedakan begini," kata Hentri. Tahun lalu, seluruh SMP swasta sudah mulai merasakan sulitnya mendapat siswa baru karena Dindik juga menambah pagu. Sesuai aturan pagu per rombel atau kelas maksimal 32 siswa. Tapi tahun lalu dijejali 36 siswa. Selain itu Dindik juga menciptakan banyak sekolah kawasan. Kepala SMP PGRI 6 Surabaya Banu Atmoko juga mengakui bahwa kebijakan Dindik tahun ini tak berpihak kepada dirinya dan teman-temannya. Karena makin sulit kondisinya seluruh kepala sekolah dan guru turun jalan. "Coba dinas pendidikan kota surabaya sekali kali mentaati aturan yang sudah ada. Mereka juga mentaati kesepakatan yang sudah ada sehingga tidak ada yang dikorbankan. SMP swasta dikorbankan," kata Banu. 

Dian menyebut bahwa sesuai Permen 1 rombel diisi 32 dengan maksimal 11 rombel. Tapi kenyataannya seperti yang terjadi saat ini bahwa Kota Surabaya menabrak aturan ini. Banu menegaskan bahwa SMP negeri dan swasta sama dalam dunia pendidikan. Jika SMP Negeri mendapatkan perhatian dari Dinas pendidikan 
dengan kebijakan, maka SMP swasta juga harusnya mendapatkan kebijakan yang sama. Banu juga menyebut prestasi SMP swasta telah mengharumkan Surabaya baik melaui olimpiade dan kompetisi lain di dunia pendidikan. (Nuraini Faiq)




loading...

0 Response to "Cerita Guru SMP Swasta, Menangis karena Cuma Dapat 2 Siswa Baru"

Posting Komentar